Jumat, 12 April 2013

KOLMEDNY, Kisah Laor Februari dari Kampung Watrupun , Kepulauan Babar

Ternyata kebiasaan timba laor sudah dilakukan oleh orang tua-tua sejak dulu. Waktu bakar laor tidak berbeda dengan saat ini, yakni pada bulan Februari dan Maret. Ada satu cerita menarik disekitar kebiasaan timba laor pada bulan Februari (disebut “laor Februari”).
Seperti biasanya orang-orang di Babar pada umumnya, ada seorang tete (=kakek), namanya “TETE KOLA” juga mempersiapkan diri untuk timba laor. Saat matahari mulai tenggelam, semua orang mulai bersiap-siap untuk timba laor.  Perlengkapan yang harus dibawa adalah “nikliwra” (timba-timba yang awalnya dibuat dari benang putar oleh orang tua-tua, dimana pada bagian depan ditaruh kulit bia yang kecil sebagai pemberat-modelnya seperti sayap kelelawar), “purpurka” (bakul dari daun lontar), dan “wadky” (lobe). Waktu itu, lobe dibuat dari daun kelapa kering yang diikat rapat kemudian dibakar seperti obor. Ada juga yang memakai bambu kering, setelah dipotong dan dibuat seperti pelupu, kemudian diikat dan dibakar. Katanya, bambu keringlah yang bisa bertahan lama.
Saat TETE KOLA mulai turun ke laut untuk timba laor, ia  berdiri di atas sebuah batu dan mulai kelihatam laor mengelilinginya. Kemudian TETE KOLA mulai mengambil nikliwra. Sambil timba laor, ia berkata : “kalau kalian manusia, bawalah saya di kampung kalian”. Beberapa saat kemudian, laor yang mengelilinginya semakin banyak. Laor terus bertambah banyak dan tiba-tiba TETE KOLA yang sedang berdiri di atas batu itu telah diangkat dan dibawa oleh laor yang banyak itu. Sampai di tengah laut, TETE KOLA ditenggelamkan.
Sekejap ia menjadi kaget karena sudah berada di kampung laor. Sebagai orang asing, TETE KOLA mempunyai kebiasaan yang berbeda, termasuk makanan. Ia biasanya makan jagung, namun di kampung Laor makanan sehari-hari adalah otong dan gandum. TETE KOLA mengalami kesulitan besar. Kemudian ia menyampaikannya kepada raja Laor. Sambil menenangkan TETE KOLA, raja laor berkata : “sebaiknya makan apa yang ada saja dulu, nanti tahun depan baru kami mengantar kamu pulang”. Sejak saat bakar laor itulah, orang-orang menganggap TETE KOLA telah hilang.
Pada bulan Februari tahun berikutnya, kebiasaan itu terulang kembali. Orang di kampung-kampung mulai bersiap-siap untuk timba laor. Ternyata, raja laor setia pada janjinya kepada TETE KOLA untuk mengantar pulang ke tempatnya semula.  Tiba-tiba, ia sudah ada di tengah-tengah orang banyak. Betapa kagetnya semua orang karena tete Kola yang dianggap telah hilang, terlihat kembali lagi. Konon, kabarnya saat Tete KOLA kembali ke kampong, ia membawa otong dan gandum dari kampong laor, maka kemudian otong dan gandum juga tumbuh di Watrupun dan Manuwui. Sejak saat itu, setiap timba laor bulan Februari, orang-orang di Babar menyebutnya “KOLMEDNY” (TETE KOLA punya laor).
Setelah itu, kebiasaan timba laor diperkirakan terkait dengan cerita ini. Pada saat timba laor, orang tua-tua biasanya berkata-kata :
“Mawoka molei upe … mawuwi maweyo le warat tetem di. Lerdide sekatloi pes-pesa …. “
(“bakumpul jua tete-tete … katong  tunggu kamong dalam 1 tahun penuh ini. Hari ini katong menari bae-bae”)
Kalau kemudian saat orang-orang timba laor berteriak; “woka … woka … woka … kur …..”, diduga terkait dengan kata-kata di atas “mowoka ….” Sedangkan “kur ….” memperlihatkan sukacita orang menari (=seka). Jadi, saat timba laor itu seperti gerakan orang menari (=seka). Misalnya, sambil timba laor, orang mengatakan :
“ jo … jo …. Jo … seka tloi pespes o …. “
(ayo … katong seka bae-bae o …. ).
Ada juga komunikasi antara orang yang timba laor dengan laor, seakan laor seperti manusia :
“ yana mpiakiwat po … “
( jang bacubi  bole ….. )
Pada malam hari ketiga, waktu perpisahan, orang tua-tua biasa  mengucapkan kata-kata :
“meldide melakorni  itme nalwyora itme. Riri npolan le letni run’ni, warat li’ire pele twatrom oka. Kalwede !”
(malam ini malam terakhir, satu kasi suara satu. Masing-masing pulang di dia pung kampung halaman. Tahun depan baru katong baku dapa lai. Salamat !)
Menurut penuturan beberapa orang tua di desa Manuwui, dulu orang-orang dari Manuwui timba Lor di desa Watrupun. Saat timba laor, mereka tinggal selama 3 (tiga) hari. Umumnya, kebiasaan timba Laor dilakukan selama 3 (tiga) malam. Waktu itu, 1 (satu) bulan sebelum timba Laor, mereka sudah harus potong bambu tui dan dikeringkan untuk dijadikan lobe (penerangan saat timba laor). Saat inipun, beberapa orang tua bercerita, kalau dulu saat timba Laor, jika ditaburkan otong atau gandum, maka Laor akan berkumpul lebih cepat dan dalam jumlah yang sangat banyak. Demikian pula, seusai timba Laor, mereka semua kembali ke darat dan makan bersama di lakpona. Laor yang diperoleh, kemudian dibakar pada lombar pinang (pokoi). Setelah pamitan dengan Laor pada malam ketiga, merekapun saling berpamitan di lapkona. Setelah itu, orang-orang Manuwui kembali ke kampongnya yang berjarak 6 (enam) km dari Watrupun.
Ada tuturan lain yang menarik pula  seputar dengan kebiasaan timba laor sejak dulu.
-      Jika sudah diperhitungkan bulan yang tepat, ada kesepakatan bersama disertai tanda tibanya laor. Pada hari yang telah ditentukan bersama untuk timba laor, sejak pkl.12.00 (tepat tengah hari) hingga menuju ke pantai, orang-orang dilarang untuk menyapu di rumah, mandi, sisir rambut, dan memasak.
-   Saat berada di laut untuk timba laor, tidak boleh ludah, kentut, kencing, main-main laor, makan, merokok, pakai parfum.
-        Selesai timba laor dan kembali ke pantai barulah makan bekal.
-       Pada hari pertama timba laor, hasil yang didapat dan akan dikonsumsikan harus direbus saja. Tidak boleh berikan rempah-rempah. Sangat dilarang keras untuk tidak diberikan air lemong/jeruk karena nanti laor merasa pedis/sakit. Ada keyakinan, jika orang yang memberikan air lemong, pada hari kedua tidak lagi mendapat laor.
-       Orang tua-tua juga bisanya berpesan begini : “ingatang jang dong bicara sabarang-sabarang atau pandang enteng laor, jang sampe dong balari kamong kaya Tete KOLA”.
Kini, kebiasaan timba laor masih tetap terlihat pada bulan Februari dan Maret setiap tahun. Ada dua hari timba laor, dimana hari kedua dipahami sebagai kesempatan pamit. Saat tiba timba laor, orang-orang akan berbondong-bondong ke pantai pada sore hari, kemudian saat malam tiba, timba laor dimulai. Dari amatan beta, pada tahun 1970-an hingga 1990-an, orang-orang di Tepa masih timba laor di sekitar kilometer 1 sampai kilometer 4 arah Kolai. Namun, akhir-akhir ini sudah sangat kurang. Semua orang dari Tepa akan memilih ke Waitota dan Letsiara untuk timba laor. Konon kabarnya, orang-orang di Tepa tidak melaksanakan kebiasaan timba laor sesuai kebiasaan orang tua-tua dulu. Perlengkapan yang dibawa telah disesuaikan dengan perkembangan kini seperti;  “nikliwra”, dibuat dari kain kelambu, “purpurka”, juga dipersiapkan ember, juga karung, dan “wadky” digunakan lampu pertomaks, malah ada yang menggunakan lampu neon.
Semoga ada saja yang bisa kita ambil dari kisah kampung Watrupun. Misalnya, dalam kehidupan masyarakat Babar, komunikasi tidak hanya antar manusia, tetapi dengan ciptaan Tuhan lainnya (alam), sebuah komunikasi yang saling menghormati akan disertai dengan komitmen dalam wujud janji; “raja laor setia pada janjinya kepada tete KOLA”, juga sejumlah aturan seputar kebiasaan timba laor sejak dulu. Juga, rasa sukacita selalu diungkapkan dalam suasana kekeluargaan/persaudaraan, bukan saja antara manusia, tetapi juga dengan laor; “timba laor seperti menari (=seka) bersama”. “menari bersama laor”. Bukankah kita semua belajar tentang komitmen dan keseimbangan kehidupan bersama alam (=semua ciptaanNya). Semoga …..

Terima kasih untuk tuturan Tete Banci Mose (almarhum) dan bp. Ucu Etwiory, Tepa dan beberapa orang tua; bp. Taniel Reiwuty, bp. Ais Waliana, bp, Ot Maressy, bp. Zeth Mapussa di Manuwui.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar