Ternyata kebiasaan timba laor sudah
dilakukan oleh orang tua-tua sejak dulu. Waktu bakar laor tidak berbeda dengan
saat ini, yakni pada bulan Februari dan Maret. Ada satu cerita menarik
disekitar kebiasaan timba laor pada bulan Februari (disebut “laor Februari”).
Seperti biasanya orang-orang
di Babar pada umumnya, ada seorang tete (=kakek), namanya “TETE KOLA” juga
mempersiapkan diri untuk timba laor. Saat matahari mulai tenggelam, semua orang
mulai bersiap-siap untuk timba laor. Perlengkapan
yang harus dibawa adalah “nikliwra”
(timba-timba yang awalnya dibuat dari benang putar oleh orang tua-tua, dimana
pada bagian depan ditaruh kulit bia yang kecil sebagai pemberat-modelnya
seperti sayap kelelawar), “purpurka”
(bakul dari daun lontar), dan “wadky” (lobe).
Waktu itu, lobe dibuat dari daun kelapa kering yang diikat rapat kemudian
dibakar seperti obor. Ada juga yang memakai bambu kering, setelah dipotong dan
dibuat seperti pelupu, kemudian diikat dan dibakar. Katanya, bambu keringlah
yang bisa bertahan lama.
Saat TETE
KOLA mulai turun ke laut untuk timba laor, ia
berdiri di atas sebuah batu dan mulai kelihatam laor mengelilinginya.
Kemudian TETE KOLA mulai mengambil nikliwra. Sambil timba laor, ia berkata : “kalau kalian manusia, bawalah saya di kampung
kalian”. Beberapa saat kemudian, laor yang mengelilinginya semakin banyak.
Laor terus bertambah banyak dan tiba-tiba TETE KOLA yang sedang berdiri di atas
batu itu telah diangkat dan dibawa oleh laor yang banyak itu. Sampai di tengah
laut, TETE KOLA ditenggelamkan.
Sekejap ia
menjadi kaget karena sudah berada di kampung laor. Sebagai orang asing, TETE
KOLA mempunyai kebiasaan yang berbeda, termasuk makanan. Ia biasanya makan
jagung, namun di kampung Laor makanan sehari-hari adalah otong dan gandum. TETE
KOLA mengalami kesulitan besar. Kemudian ia menyampaikannya kepada raja Laor.
Sambil menenangkan TETE KOLA, raja laor berkata : “sebaiknya makan apa yang ada saja dulu, nanti tahun depan baru kami
mengantar kamu pulang”. Sejak saat bakar laor itulah, orang-orang
menganggap TETE KOLA telah hilang.
Pada bulan
Februari tahun berikutnya, kebiasaan itu terulang kembali. Orang di
kampung-kampung mulai bersiap-siap untuk timba laor. Ternyata, raja laor setia
pada janjinya kepada TETE KOLA untuk mengantar pulang ke tempatnya semula. Tiba-tiba, ia sudah ada di tengah-tengah orang
banyak. Betapa kagetnya semua orang karena tete Kola yang dianggap telah
hilang, terlihat kembali lagi. Konon, kabarnya saat Tete KOLA kembali ke
kampong, ia membawa otong dan gandum dari kampong laor, maka kemudian otong dan
gandum juga tumbuh di Watrupun dan Manuwui. Sejak saat itu, setiap timba laor
bulan Februari, orang-orang di Babar menyebutnya “KOLMEDNY” (TETE KOLA punya
laor).
Setelah itu, kebiasaan timba
laor diperkirakan terkait dengan cerita ini. Pada saat timba laor, orang
tua-tua biasanya berkata-kata :
“Mawoka molei upe … mawuwi maweyo le
warat tetem di. Lerdide sekatloi pes-pesa …. “
(“bakumpul jua tete-tete … katong tunggu kamong dalam 1 tahun penuh ini. Hari ini
katong menari bae-bae”)
Kalau kemudian saat orang-orang
timba laor berteriak; “woka … woka … woka … kur …..”, diduga terkait dengan
kata-kata di atas “mowoka ….” Sedangkan “kur ….” memperlihatkan sukacita orang
menari (=seka). Jadi, saat timba laor itu seperti gerakan orang menari (=seka).
Misalnya, sambil timba laor, orang mengatakan :
“ jo … jo …. Jo … seka tloi pespes o …. “
(ayo … katong seka bae-bae o …. ).
Ada juga komunikasi antara orang yang timba laor dengan
laor, seakan laor seperti manusia :
“ yana mpiakiwat po … “
( jang bacubi bole ….. )
Pada malam hari ketiga, waktu perpisahan, orang tua-tua
biasa mengucapkan kata-kata :
“meldide melakorni itme nalwyora itme. Riri npolan le letni
run’ni, warat li’ire pele twatrom oka. Kalwede !”
(malam ini malam terakhir, satu kasi suara
satu. Masing-masing pulang di dia pung kampung halaman. Tahun depan baru katong
baku dapa lai. Salamat !)
Menurut
penuturan beberapa orang tua di desa Manuwui, dulu orang-orang dari Manuwui
timba Lor di desa Watrupun. Saat timba laor, mereka tinggal selama 3 (tiga)
hari. Umumnya, kebiasaan timba Laor dilakukan selama 3 (tiga) malam. Waktu itu,
1 (satu) bulan sebelum timba Laor, mereka sudah harus potong bambu tui dan
dikeringkan untuk dijadikan lobe (penerangan saat timba laor). Saat inipun,
beberapa orang tua bercerita, kalau dulu saat timba Laor, jika ditaburkan otong
atau gandum, maka Laor akan berkumpul lebih cepat dan dalam jumlah yang sangat
banyak. Demikian pula, seusai timba Laor, mereka semua kembali ke darat dan
makan bersama di lakpona. Laor yang diperoleh, kemudian dibakar pada lombar
pinang (pokoi). Setelah pamitan
dengan Laor pada malam ketiga, merekapun saling berpamitan di lapkona. Setelah
itu, orang-orang Manuwui kembali ke kampongnya yang berjarak 6 (enam) km dari
Watrupun.
Ada tuturan
lain yang menarik pula seputar dengan
kebiasaan timba laor sejak dulu.
- Jika sudah diperhitungkan bulan yang tepat, ada
kesepakatan bersama disertai tanda tibanya laor. Pada hari yang telah
ditentukan bersama untuk timba laor, sejak pkl.12.00 (tepat tengah hari) hingga
menuju ke pantai, orang-orang dilarang untuk menyapu di rumah, mandi, sisir
rambut, dan memasak.
- Saat berada di laut untuk timba laor, tidak
boleh ludah, kentut, kencing, main-main laor, makan, merokok, pakai parfum.
- Selesai timba laor dan kembali ke pantai barulah
makan bekal.
- Pada hari pertama timba laor, hasil yang didapat
dan akan dikonsumsikan harus direbus saja. Tidak boleh berikan rempah-rempah.
Sangat dilarang keras untuk tidak diberikan air lemong/jeruk karena nanti laor
merasa pedis/sakit. Ada keyakinan, jika orang yang memberikan air lemong, pada
hari kedua tidak lagi mendapat laor.
- Orang tua-tua juga bisanya berpesan begini :
“ingatang jang dong bicara sabarang-sabarang atau pandang enteng laor, jang
sampe dong balari kamong kaya Tete KOLA”.
Kini,
kebiasaan timba laor masih tetap terlihat pada bulan Februari dan Maret setiap
tahun. Ada dua hari timba laor, dimana hari kedua dipahami sebagai kesempatan
pamit. Saat tiba timba laor, orang-orang akan berbondong-bondong ke pantai pada
sore hari, kemudian saat malam tiba, timba laor dimulai. Dari amatan beta, pada
tahun 1970-an hingga 1990-an, orang-orang di Tepa masih timba laor di sekitar
kilometer 1 sampai kilometer 4 arah Kolai. Namun, akhir-akhir ini sudah sangat
kurang. Semua orang dari Tepa akan memilih ke Waitota dan Letsiara untuk timba
laor. Konon kabarnya, orang-orang di Tepa tidak melaksanakan kebiasaan timba
laor sesuai kebiasaan orang tua-tua dulu. Perlengkapan yang dibawa telah
disesuaikan dengan perkembangan kini seperti;
“nikliwra”, dibuat dari kain
kelambu, “purpurka”, juga
dipersiapkan ember, juga karung, dan “wadky”
digunakan lampu pertomaks, malah ada yang menggunakan lampu neon.
Semoga ada
saja yang bisa kita ambil dari kisah kampung Watrupun. Misalnya, dalam
kehidupan masyarakat Babar, komunikasi tidak hanya antar manusia, tetapi dengan
ciptaan Tuhan lainnya (alam), sebuah komunikasi yang saling menghormati akan
disertai dengan komitmen dalam wujud janji; “raja
laor setia pada janjinya kepada tete KOLA”, juga sejumlah aturan seputar
kebiasaan timba laor sejak dulu. Juga, rasa sukacita selalu diungkapkan dalam
suasana kekeluargaan/persaudaraan, bukan saja antara manusia, tetapi juga
dengan laor; “timba laor seperti menari
(=seka) bersama”. “menari bersama
laor”. Bukankah kita semua belajar tentang komitmen dan keseimbangan
kehidupan bersama alam (=semua ciptaanNya). Semoga …..
Terima kasih
untuk tuturan Tete Banci Mose (almarhum) dan bp. Ucu Etwiory, Tepa dan beberapa
orang tua; bp. Taniel Reiwuty, bp. Ais Waliana, bp, Ot Maressy, bp. Zeth Mapussa
di Manuwui.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar