Rabu, 08 Juni 2011

Peran Gereja Dalam Peningkatan Nilai-Nilai Agama Dan Budaya Daerah (Pdt. W. A. Beresaby, S.Th. Ketua Klasis GPM Pp. Babar.)

Mengapa Gereja ?

Memenuhi permintaan bagian Kesra SETDA Maluku Barat Daya, pertama-tama, sebaiknya dimengerti bahwa jika disebutkan “Gereja”, artinya tidak dapat dipisahkan dari peran agama-agama yang selama ini berkontribusi bagi kehidupan masyarakat Maluku Barat Daya. Ada beberapa pertanyaan awal mengawali paparan ini, yakni; “Pentingkah Peran Gereja dalam urusan kesejahteraan rakyat ?”, “dimanakah tempat Gereja dalam strategi pembangunan Kabupaten Maluku Barat Daya ?, “dimanakah nisbah antara Gereja dan Budaya”, “Apakah pembangunan Maluku Barat Daya membutuhkan nilai-nilai agama dan nilai-nilai budaya ?“

Sudah menjadi kebiasaan sebelumnya, hingga kita baru saja melewati Pemilukada MBD yang sarat juga dengan penampakkan tarik-menarik kepentingan di ranah gereja dan budaya. Banyak bantuan mengalir ke gereja-gereja ataupun jemaat-jemaat. Rumah Tua di kampung-kampung ramai menerima tamu-tamu yang datang dari luar kampung. Visi dan Misi para Kandidat, secara gamblang mengusung tema-tema iman dan budaya. Demikian pula para pejabat selalu diterima dengan ritual adat dan keagamaan dalam acara-acara penyambutan.

Tidak secara kebetulan kenyataan ini berlangsung. Satu hal yang menarik, dapatlah dikatakan kita semua sepakat bahwa gereja dan budaya memiliki potensi emosional yang dapat menghasilkan kekuatan/daya dorong (=spirit) untuk mencapai tujuan tertentu, yang bisa saja diperuntukkan bagi sesorang, kelompok tertentu, ataupun kepentingan banyak orang. Potensi emosional tersebut bisa saja positif, tetapi juga negatif. Karena itu, mestinya dikelola secara arif terkait dengan kepentingan kekuasaan yang akan membangun kesejahteraan rakyat yang mencakup seluruh aspek kehidupan.

Rias Rasijd, penggagas UU 32 tahun 2004, pernah mengatakan, esensi dari otonomisasi daerah adalah bagaimana Pemerintah Daerah dapat mengakomodir berbagai potensi masyarakat guna membangun kemandirian daerahnya. Proses mencapai kemandirian daerah dimaksud, mestinya disertai dengan kemampuan untuk mengelola potensi-potensi di daerahnya. Dalam Bab I Ketentun Umum Pasal 1 point 6 UU 32 tahun 2004 dijelaskan :
Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Gereja dalam pengertian organis dan organisasi/lembaga keagamaan adalah bagian dari potensi masyarakat Indonesia, khususnya di Kabupaten Maluku Barat Daya. Dalam pengertian itu, gereja menempatkan diri sebagai mitra Pemerintah, mengusahakan dan memperjuangkan kemandirian daerah otonom yang bermuara pada kesejahteraan rakyat. Gereja Protestan Maluku (GPM) mengamanatkan peran gereja yang pro aktif, mencakup peran warga gereja, dengan berbagai latar belakang sosial-budaya, ekonomi, dll.

Khususnya terkait dengan kebudayaan, bagi GPM, karya Allah adalah adat isti adat sebagai bagian dari budaya yang memanusiakan manusia dan bahwa Allah yang terus berkarya memungkinkan kita untuk melakukan transformasi terhadap kebudayaan warisan tete-nene moyang. Bahwa Allah dan tete-nene moyang adalah substansi yang berbeda. Allah adalah suatu substansi adikodrtati, sedangkan tete-neno moyang adalah generasi manusia yang pertama-tama mempraktekkan dan menurunalihkan tata aturan kehidupan (norma/adat), termasuk di dalamnya ide-ide mengenai Tuhan/Allah itu sendiri. Relasi umat dengan Allah adalah relasi percaya, sedangkan dengan tete-nene moyang adalah relasi penghormatan.

Memasuki tahun ketiga perjuangan mensejahterahkan masyarakat Kabupaten Maluku Barat Daya, hendaknya segenap potensi masyarakat dapat belajar dari pengalaman daerah lain dan mengevaluasi berbagai upaya bersama dengan sejumlah tantangan yang dihadapi. Yang pasti, perubahan adalah sebuah keniscayaan. Apakah perjuangan untuk mensejahterakan rakyat Maluku Barat Daya yang masih kental kehidupan keagamaan dan budaya akan bergeser ditengah jalan, bahkan dibunuh oleh praktek-praktek Korupsi, Kolusi, nepotisme ? Ataukah gemerlapnya pembangunan dusun, desa, kota-kota baru di wilayah Maluku Barat Daya akan disertai dengan penghancuran nilai-nilai etik-moral dalam tatanan kehidupan masyarakat ?

Sikap Etik-Moral

Tanpa mengabaikan aspek transedentalnya, Gereja (=agama-agama) menghadirkan dirinya dalam kehidupan manusia sebagai suatu realitas sosial. Agama-agama mestinya membumi, dan tidak menjadi bangunan dogma/doktrin semata, sehingga bermanfaat bagi manusia dan alam ciptaan Tuhan. Kurang lebih ada 4 masalah besar yang sementara dihadapi dunia dan agama-agama, yakni :
1.Globalisasi yang dapat berpotensi kehancuran identitas masyarakat lokal.
2.Fundamentalisme agama-agama yang melahirkan fanatik sempit sekaligus penolakan pluralitas.
3.Keruntuhan etik-moral di tengah gemerlapnya kemajuan agama-agama.
4.Kerusakan lingkungan hidup sebagai akibat dari eksploitasi bagi kepentingan pembangunan.

Menyadari, begitu luasnya cakupan nilai-nilai keagamaan, sehingga paparan ini akan dibatasi pada peran gereja (=agama) terhadap nilai etik-moral spiritual yang menjadi masalah mendasar serta kursial dalam kehidupan bermasyarakat, dimana agama-agama tidak dapat “cuci tangan”.

Sikap etik-moral terkait dengan sikap yang didasarkan pada apa yang benar dan apa yang salah atau apa yang baik dan apa yang jahat. Tentunya, apa yang benar terkait dengan standar tertentu (=agama) yang mencakup sejumlah nilai ditetapkan/mutlak/yang berlaku/dipedomani dalam kehidupan manusia. Standar keagamaan tersebut mengandung daya/kemampuan gerak (spirit) yang melahirkan keputusan serta membentuk sikap.

Alkitab, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru dalam berbagai bentuk penulisan; narasi, hukum, hikmat, nyanyian, puisi, nubuat, silsilah, perumpamaan, surat, wahyu, mengandung sejumlah nilai keagamaan. Dalam pengertian ini, Alkitab mengandung konsep/gagasan dasar mengenai penghargaan tertinggi yang diyakini oleh umat menyangkut hal-hal yang besifat suci dan menjadi pedoman bagi tingkah laku/pembentukan sikap. Umat Israel menempatkan Hukum Taurat sebagai konsep dasar untuk membangun kehidupan sebagai umat Allah (Ul. 5:1-22). Demikian pula, Kekristenan dan Hukum Kasih (Mat. 22:37; Mrk. 12:30-31; Luk. 10:27). Dan tentunya masih banyak konsep dasar seperti penciptaan, keselamatan, Kerajaan Allah, dll. Konsep-konsep dasar dimaksud membidani nilai-nilai seperti, ketatatan, kesetiaan, kekudusan, kasih, persekutuan, keadilan, pengorbanan, pengampunan, kemanusiaan, dll.

Dalam kebersamaan dengan gereja-gereja dan agama-agama, GPM dalam Pola Induk Pelayanan/Rencana Induk Pengembangan Pelayanan 2005-2015 mengemban Visi dan Misi Pelayanan :
VISI PELAYANAN
Terwujudnya orang beriman yang berkualitas, terbuka, maju, mandiri dalam segala aspek kehidupan, dan memiliki rasa kebersamaan dan kesetiakawanan dengan orang-orang lain dalam kehidupan bergereja dan bermasyarakat, serta tanpa pandang denominasi gereja, jenis kelamin, suku, bangsa, budaya dan agama, turut berperanserta bersama-sama untuk mendirikan tanda-tanda Kerajaan Allah, yaitu tanda-tanda cinta kasih, keadilan, kebenaran, kemanusiaan, perdamaian, keutuhan ciptaan, dan kesejahteraan bagi seluruh ciptaan Allah.
MISI PELAYANAN
Mendidik, membina, membangun, dan memberdayakan jemaat setempat atau umat dan orang-orang lain menjadi manusia beriman yang berkualitas, maju, mandiri, terbuka serta memiliki rasa kebersamaan dan kesetiakawanan dalam kehidupan bergereja dan bermasyarakat, sehingga mereka dapat bersama-sama turut berperanserta dalam misi pembebasan dan penyelamatan Allah melalui pelayanan yang holistik. Pelayanan holistik itu mencakup seluruh aspek hidup manusia; aspek ritual, kelembagaan, sosio-etis, jasmani-rohani, sosial-ekonomi-politik-budaya, dan ekologi.

Visi dan Misi Pelayanan ini akan diwujudkan melalui pembentukan dan pencapaian Tiga Profil GPM; Keumatan, Kelembagaan dan Pelayan. Pembentukan kapasitas umat meliputi ketangguhan dan kematangan secara teologis, moral-etis, sosial, kultural, ekonomis, politik, pluralistik, toleran, dialogis, manusiawi. Kapasitas kelembagaan meliputi; berperan dalam praktis sosial, hubungan antar-lini organisasi (strategi lewel, middel line, techno structure, support staff dan operation). Sedangkan, Kapasitas Pelayan meliputi kesadaran panggilan dan pengutusan, berwawasan pluralisme, memiliki kepekaan sosial, beretika kepemimpinan Kristen. Untuk mewujudkan sikap etis-moral Kristen terus dikembangkan pembinaan dan pendidikan melalui wadah dan organisasi gerejawi, terutama melalui SMTPI dan Katekiasi sebagai lembaga Pendidikan Formal Gereja (PFG). Dalam kesadaran ini, maka ada dua hal yang mendasar :
1.Gereja haruslah mengupayakan adanya kesadaran umat untuk mewujuknyatakan sikap etik-moral dalam kehidupan sehari-hari, ketimbang “terpenjara” dalam debat dogmatika yang menarik keluar gereja (=agama-agama) dari dalam realitas penyelamatan Allah bagi manusia dan alam .
2.Gereja juga memiliki peran sebagai pengawal bagi tumbuhnya sikap etik-moral dalam kehidupan masyarakat. Peran ini sekaligus menempatkan gereja (=agama-agama) sebagai institusi yang memiliki fungsi kritik sosial di tengah kenyataan mewabahnya berbagai penyakit sosial (KKN, Narkoba, Miras, HIV/AIDS, ketidakadilan struktur, pengrusakan lingkungan hidup, dsbnya).

Lirmarna; Suara yang Besar/Mulia

Ada baiknya, jika saya membatasi bagian ini dan fokus pada Lirmarna, karena saya tidak mungkin memaparkan sesuatu yang tidak saya ketahui secara mendalam. Diharapkan, makalah ini akan menginspirasikan kesadaran banyak orang untuk menemukan dan merenungkan kembali nilai-nilai budaya sebagai identitas masyarakat setempat. Identitas masyarakat yang nyaris “hanyut” terbawa arus perubahan dan kemajuan masyarakat dewasa ini.

Pada bagian ini, kita akan memahami budaya terkait dengan kearifan lokal (local wisdom). Dari sejumlah defenisi para Antropolog, diketahui bahwa kearifan lokal adalah perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat. Keariafan lokal adalah produk masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Secara konseptual, kearifan lokal mengandung kebijaksanaan manusia yang yang didasarkan pada nilai-nilai etika dan cara berprilaku yang melembaga secara tradisional. Nilai-nilai tersebut dipandang baik dan benar sehingga dapat bertahan dalam waktu yang lama dan bahkan melembaga, sekalipun dihantam oleh kekuatan nilai-nilai yang dibawa oleh perubahan.

Saya mengalami kebingungan untuk memilih-milih kearifan lokal di Babar. Para pemuda (masyarakat ?) Babar lebih tertarik “Triping”, “dansa”, “disco”, “kadayo”, “yospan” pada pesta-pesta yang bersifat kekeluargaan, daripada tarian Seka. Di desa/dusun, tidak lagi terlihat bangunan Rumah Tua, hanya terpampang namanya saja. Dalam acara-acara adat, sudah tidak terlihat lagi pakaian adat Babar alias semakin langka. Pertanyaannya, manakah yang masih bertahan ? Saya berharap tidak keliru mengatakan bahwa Sopi sebagai minuman adat masih tetap bertahan. Entah, Sopi dipergunakan salah atau benar, saya lebih memilih untuk memahaminya dari makna pengistilahan dalam bahasa tanah (tua), karena mengandung nilai-nilai yang mesti dikembangkan.

Kabupaten Maluku Barat Daya, identik disebut “Bumi Kalwedo”. Bukankah logo daerah dan salam khas MBD adalah KALWEDO ? Sejak masih menjadi satu dengan Kabupaten MTB, sebutan Kalwedo sudah sangat terkenal. Di Babar, sebutan Kalwedo memiliki arti yang sama dengan sebutan “Lemmel”, “Ledwal”, “Twano”. Ucapan ini tidak saja diucapkan saat seseorang minum sopi, tetapi juga untuk menyapa orang lain saat bertemu. Umumnya, kata tersebut diterjemahkan “selamat” dalam pengertian yang luas. Ternyata, Kata Kalwedo, tidak dapat dipisahkan dari Sopi. Sayang, kata Kalwedo semakin terkenal dan menjadi kebangggan identitas, sedangkan Sopi semakin dituduh sebagai pemicu tindak kekerasan, perkelahian, pengrusakan, dll yang sejenisnya. Dalam amatan saya, hampir tidak ada lagi pengakuan terhadap sopi yang dulu diakui dapat menyelesaikan masalah, sebesar dan seberat apapaun.

Thomas M. Wilson dalam bukunya Dringking Cultures; Alcohol and Identity, menyentak kesadaran kita yang cenderung terjebak dalam pergeseran makna dan nilai minuman kebudayaan yang hanya dipergunakan sebagai minuman keras. Padahal, sebetulnya minuman kebudayaan merupakan “identitas” masyarakat pemilik kebudayaan tersebut. Pergeseran makna dan nilai dimaksud juga kini semakin terasa dalam kehidupan masyarakat MBD, khususnya di Kepulauan Babar. Kini, semoga kabupaten ini tidak digelar “kabupaten penghasil sopi”, sebagai sindiran sekaligus bentuk penolakan dan tuduhan terhadap sopi yang destruktif. Dewasa ini, sopi tidak saja menjadi minuman budaya yang mengandung nilai adat, tetapi juga sumber pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, dapat dipergunakan sebagai pelarian dari masalah, dan sebagai pemicu/perangsang seseorang agar berani dalam menghadapi suatu masalah.
Menarik, bahasa tanah sopi adalah LIRMARNA. Lir artinya suara, Marna berarti besar, mulia. Jadi sopi dapat diartikan “suara yang besar”, “suara yang mulia”. Kebesaran dan kemuliaan yang dimaksudkan, seharusnya nampak dalam tata cara adat (=dudu adat). Awalnya, dalam dudu adat, hanya orang tertentu yang bisa memegang gelas sopi. Dan sopi tidak diminum terus-menerus selama pembicaraan berlangsung. Kenyataan sekarang, selama pembicaraan berlangsung “bandar (=yang siram sopi)” terus mengedarkan sopi, sehingga saat mengambil keputusan, bisa saja terjadi kekacauan karena orang-orang yang akan mengambil keputusan dalam keadaan mabuk. Kalau dulu, sekali mengucapkan kalwedo perkara/masalah selesai. Sekarang sekali mengucapkan kalwedo, perkara/masalah bakal terjadi.

Sopi dalam pengertian Lirmarna, menjadi minuman budaya pada saat orang-orang mempercakapkan masalah di Rumah Tua atau di dalam Sidang Adat. Merujuk pada makna Lirmarna, maka dalam pandangan saya ada tiga nilai yang ingin ditanamkan dalam kehidupan masyarakat Babar, yakni :
1.Kekeluargaan/persaudaraan. Bisa saja, pembicaraan awal menegangkan, tetapi jalannya pembicaraan hingga berakhir penuh dengan rasa kekeluargaan/persaudaraan. Semua duduk bersama, bicara bersama, makan juga bersama.
2.Keterbukaan (transparansi). Semua permasalahan dibicarakan secara terbuka alias “tidak pakai amplop”. Terkadang keterbukaan bisa beresiko, terutama menyakitkan. Bisa saja, ada suara yang keras, tetapi itulah ekspresi orang-orang yang “dudu adat”.
3.Kemanusiaan. Sudah pasti, “dudu adat” dilakukan untuk membicarakan masalah-masalah kemanusiaan; kawin, cerai, mati, sakit, perkelahian, dll.

Kini, GPM terus mewujudkan perannya dalam mengembangkan budaya masyarakat setempat. Bahwa kebudayaan (adat-istiadat) adalah anugerah Tuhan untuk memanusiakan manusia. Upaya tansformasi Injil dan adat, mestinya memperkuat tumbuhnya nilai-nilai menjadi “daya dorong” atau “roh” bagi pembentukan tatanan masyarakat, terutama pembentukan sikap etik-moral dalam harapan membangun kehidupan masyarakat/umat yang lebih baik; beriman dan beradab.

Quadis MBD ?

Seusai kegiatan ini, kita akan terus berjalan bersama selaku gereja (“eklesia via torum”) di tengah tantangan hidup berbangsa dan bermasyarakat. Perkenankan saya menyampaikan beberapa pikiran sebagai masukan sekaligus memperkuat upaya Pemerintah Kabupaten Maluku Barat Daya, agama-agama, dan semua pihak dalam rangka upaya pembangunan yang bermuara pada kesejahteraan rakyat.

1.Pendekatan pembangunan serta pemecahan berbagai masalah dalam masyarakat, mestinya tersedia “ruang kearifan lokal”. Sejak dulu, masyarakat setempat selalu menyelesaikan persoalan dengan caranya. Ruang ini sama sekali tidak mengabaikan ketaatan masyarakat pada hukum/peraturan yang berlaku. Justru, ruang dimaksud mesti difasilitasi untuk membangun kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi dalam upaya mewujudkan kesejahteraan. Jika tidak, masyarakat/umat akan terus menjadi “obyek”, bukan “subyek” pembangunan. Bisa jadi, masyarakat menjadi “korban”, bukan “penikmat” kesejahteraan yang sementara diperjuangkan.
2.Otomonisasi Daerah haruslah dikelola bersama seluruh potensi masyarakat. Ada dua potensi besar, yakni BUDAYA dan AGAMA. Dari sekarang, kita mestinya terbiasa untuk mengembangkan managemen konflik sebagai bagian dari upaya meletakkan fondasi pembangunan dari, bersama dan demi masyarakat. Secara geografis, potensi perpecahan tetap ada. Belum lagi dampak dari kemajuan sarana komunikasi dan trasportasi. Budaya dan Agama, dapat menjadi perekat bagi masa depan masyarakat MBD.
3.Diharapkan kesadaran menumbuhkan/meningkatkan nilai-nilai agama dan nilai-nilai kebudayaan bukan sekedar disosialisasikan, tetapi mesti diwujudkan melalui sikap etis-moral. Kita dapat mengisi kerangka pembangunan kesejahteraan rakyat MBD dengan nilai-nilai agama dan budaya, terutama LIRMARNA; menjunjung tinggi nilai kekeluargaan/persaudaraan, keterbukaan, dan kemanusiaan.

Kiranya makalah ini dapat memberikan ransangan berarti kepada kita semua untuk semakin memperkuat komitmen sekaligus mewujudkan partisipasi bersama guna mengupayakan kesejahteraan masyarakat Maluku Barat Daya. Saya hanyalah bagian kecil dari perjuangan mereka yang telah memulainya. Uplere Nodi Nora Ita.

1.Ahmadi, H. Abu. 1999. Psikologi Sosial. Jakarta : Rineka Cipta.
2.Ackermann, Robert John. Agama Sebagai Kritik, Analisis eksistensi agama-agama besar. Jakarta : BPK Gunung Mulia.
3.Banawiratma, J. B. (edit). 1996. Iman Ekonomi dan Ekologi, Refleksi Lintas Ilmu dan Lintas Agama. Yogyakarta : Kanasius.
4.Berger, L. Peter. 1991. Langit Suci, Agama Sebagai Realitas Sosial. Jakarta : LP3ES.
5.Giddens, Anthony. 2003. Masyarakat Post-Tradisional (edisi bahasa Indonesia). Yogyakarta : IRCiSoD.
6.Lawang, Robert M. Z. 2005. Kapital Sosial, Dalam Perspektif Sosiologik. Jakarta : FISIP UI PRESS.
7.Mulder, Niels. 1999. Agama, Hidup Sehari-Hari, Dan Perubahan Budaya, Jawa, Muangthai dan Filipina. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
8.Napel, Henk ten. 1991. Jalan Yang Lebih Utama Lagi, Etika Perjanjian Baru. Jakarta : BPK Gunung Mulia.
9.Prior, John mansford. 1997. Meneliti Jemaat, Pedoman Riset Partisipatoris. Jakarta : Gramedia Widiasarana.
10.Romuty, J. N. 1961. Arti Dan Fungsi Pela Di Ilwyar Wakmer, Pulau-Pulau Babar (Skripsi Sarjana Muda Pendidikan Djurusa Ilmu Bumi).
11.Saptomo, Ade. 2010. Hukum dan Kearifan Lokal, revitalisasi Hukum Adat Nusantara. Jakarta : Gramedia Widiasarana.
12.Schreiter, Robert J. 1991. Rancang Bangun Teologi Lokal. Jakarta : BPK Gunung Mulia.
13.Stott, John. 1984. Isu-Isu Global, Menantang Kepemimpinan Kristiani, Penilaian Atas Masalah Sosial Dan Moral Kontemporer (edisi bahasa Indonesia). Jakarta : YKBK/OMF.
14.Wilson, Thomas M. 2005. Dringking Cultures, Alcohol and Identity. New York : Berg, Oxford.
15.Wright, Christopher. 1995. Hidup Sebagai Umat Allah, Etika Perjanjian Lama. Jakarta : BPK Gunung Mulia.
16.Alkitab. 1993. Jakarta : LAI.
17.Education Series, Bertheologi Dengan Kebudayaan-Kebudayaan Asia. 1988. Singapore : Lent.
18.Jurnal Filsafat, Menggali Kearifan Lokal Nusantara. Agustus 2004, Jilid 37, Nomor 2.
19.Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi ketiga). 2001. Jakarta : Balai Pustaka.
20.Pola Induk Pelayanan/Rencana Induk Pengembangan Pelayanan GPM 2005-2015.
21.Pokok-Pokok Pengakuan Iman GPM. 2006. Ambon : MPH Sinode GPM.
22.Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
23.Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten maluku Barat Daya Di Provinsi Maluku.

---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar