Rabu, 15 Juni 2011

Allo (Kamu adalah SobatKu)

9 Ceta mlilile meme U, o U lilmeme e tirmi, pe ololle mi no, korpu wau.
Seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikianlah juga Aku telah mengasihi kamu; tinggallah di dalam kasihKu itu.

10 Nore no mi e, mpute mepe lie blero Ot pe, mi e mtelne ramlu pespeslol. Yame tirle U e, bute epe Omob lie blerele pe, tetelne ramle pespeslol.
Jikalau kamu menuruti perintahKu, kamu akan tinggal di dalam kasihKu, seperti Aku meneruti perintah BapaKu dan tinggal di dalam kasihNya.

11 Orla ike telno, Orue-Orae katet kimi, pe ta ramlu lananet, no mkuekatla lilmi ramalmi, pe lpel.
Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya sukacitaKu ada di dalam kamu dan sukacitamu menjadi penuh.

12 Tai cete Oul kimi pe, ipe lbut pepes papas I, yame tirbal Moromte lbut pepes papase e.
Inilah perintahKu, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu.

13 Kakar pepes papas lalable yame ta, Oe mote kemle pe, lewka la muke allole.
Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.

14 Mita mukler mperker Moy, pene mpute mepe ta Oure-Oare kat kimi pe, ipe lbut molle ker i.
Kamu adalah sahabatKu, jikalau kamu berbuat apa yang kuperintahkan kepadaMu.

15 Ue ka bibie temila olabl melpe ta tepallileka ta Moromte lbuteteit, melpe bie mila allo, pe ta Olelet kimi no, rerel lal ikket no Moromte.
Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari BapaKu.

16 Ka mita memelkateu le U ta emelka mi, pe okerle obae mi, pe mnene mebule pepes papas pe tekkamkerno mi, pe ceta memermebaila Omob, no mpila nonol, no retit kimi.
Bukan kamu yang memilih Aku, tetapi Akulah yang memilih kamu. Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang kamu minta kepada Bapa dalam namaKu, diberikanNya kepadamu.

17 Ceta Oul kimi, no ipe lbut pepes papas i.
Inilah perintahKu kepadamu : Kasihilah seorang akan yang lain.

Menyongsong peringatan Injil masuk Ahanari, 10 Juni 2003 telah diterjemahkan Injil Yohanes 15 : 9 – 17 dalam bahasa Ahanari bertempat di gedung Gereja Eben-Haezer. Pada Sabtu sore itu, 07 Juni 2003 suasana pertemuan terasa sedikit panas ketika memperdebatkan ketepatan terjemahan bahasa Indonesia ke bahasa Ahanari. Sekalipun demikian, sangat dinamis. Sebelumnya, kami menghubungi Ketua Saniri Negeri, Tete Maku Emray bersama beberapa Tua-Tua Adat untuk mempersiapkan terjemahan perikop di atas, kemudian akan ditawarkan oleh 9 Tua-Tua Adat untuk dibahas. Pertemuan yang untuk pertama kali digelar ini dihadiri oleh para Tua-Tua, Majelis Jemaat, terlihat pula beberapa perempuan, dan kebanyakan laki2 muda. Mereka semua sangat antusias mengemukakan pendapat dan alasan-alasan untuk menemukan makna/arti setiap kata dalam konteks Alkitab dan konteks Ahanari. Sayangnya, tidak ada ahli bahasa yang bisa membantu mengungkapkan kaidah-kaidah bahasa menurut standar bahasa yang dapat diterima. Begitulah seadanya, dan telah disepakati hasil terjemahan yang diterima secara bersama. Rupanya sejak awal, sudah ada kesimpulan sementara yang diakui semua bahwa telah terjadi kerancuan antara bahasa baik bahasa tanah, bahasa pasar, ataupun bahasa Melayu Babar dalam perkembangan saat ini. Generasi tengah ke bawah sering mencampurkan sebagian kata dalam bahasa daerah, dan sebagian kata dalam bahasa Indonesia dalam satu kalimat. Salah satunya saja; “dari nomo ?” (dari mana ?). Bahasa tanah nyaris hilang, dan hanya dijumpai pada pantun-pantun adat. Itupun sudah sangat sulit diucapkan, apalagi dimengerti oleh generasi kini.

Meskipun demikian, salah satu kata dalam bahasa daerah yang sangat menarik perhatian adalah “Allo”. Setelah didalami bersama, semuanya sepakat untuk menerjemahkan kata “sahabat” dengan “allo” yang artinya “sobat” . Menarik bahwa kedalaman makna “sobat” ditemukan tidak saja pada pengertian bahasa, tetapi sesuai praktek hidup para orang tua-tua dulu yang masih kuat ada dalam ingatan para Tua-Tua Adat sekarang. Dulu, dikenal adanya ikatan – ikatan antara dua orang atau seseorang dengan beberapa orang, yang disebut “sobat” (allo). Biasanya dibilang; “dong dua baku sobat”. Hubungan sobat inipun bisa antar kampung. Sebutan tidak sekedar ucapan belaka, tetapi nyata dalam tindakan/perbuatan.

Misalnya, kalau seorang minta buah kelapa muda dari sobatnya untuk diminum, tanpa komentar sobatnya harus menyediakanya. Untuk mendapat kelapa muda, maka sobatnya naik pohon kelapa lalu memetiknya. Setelah dipetik, tidak bisa langsung membuangnya ke bawah. Buah kelapa tersebut harus tetap dipegangnya sampai ia turun, kemudian membelahnya dan memberikannya kepada sobat yang memintanya. Bayangkan, buah kelapa yang bisanya dibuang ke bawah agar tidak menghambat saat turun, tidak dilakukan. Orang yang ada di atas pohon harus memeluk pohon, belum lagi jika ia membawa parang, harus tetap dipegangnya. Kalau diminta hanya satu, tidak sulit. Tetapi, bagaimana kalau dua sampai tiga buah ? Sesungguhnya, permintaan ini sangat berisiko. Bisa saja, sobat yang turun itu jatuh. Tetapi, resiko seperti itu, tidak dipedulikannya sama sekali. Pokoknya, buah kepala permintaan sobatnya itu, tidak boleh jatuh ke tanah. Malah, bisa jadi buah kelapa tidak jatuh, tetapi orangnya yang kemungkinan bisa jatuh. Bukankah banyak kejadian, ketika seseorang jatuh dari atas pohon kelapa akan mengalami patah tulang, luka-luka, bahkan mati (=kehilangan nyawa).

Kebiasaan lain yang sudah tidak terlihat lagi, ikatan sobat antar kampung. Biasanya, saat tiba di kampung tertentu yang memiliki ikatan sobat, seseorang akan bebas untuk mengambil apa saja; jangung, kelapa, babi, dll. Nah, perbutan ini tidak dapat diartikan sebagai perbuatan mencuri. Jika perbuatan seperti ini di hutan atau di kebun, biasanya selalu diberi tanda yang dapat dimengerti oleh pemiliknya. Orang yang mengetahui barangnya diambil, tidak dapat menuntut apapun. Pemilik yang mengetahui bahwa ini adalah perbuatan sobatnya, tidak pantas marah, sekalipun untuk miliknya yang diambil itu merupakan hasil kerja kerasnya selama bertahun-tahun. Kebiasaan yang sudah hilang ini, berjalan tanpa masalah. Begitulah seorang sobat menunjukan kasih terhadap sobatnya dengan segala resiko. Resiko yang tidak dipahami sebagai “sebuah kesialan” belaka, tetapi penuh makna berkorban tumbuh dalam kesadaran dan yang harus diperjuangkan dengan sepenuh hati.

Jika Yesus Kristus menyebut kita sobat-sobatNya, maka sudah pasti kita tidak akan mungkin memaknai pengorbanan kita setara dengan pengorbananNya, hingga di Kayu Salib. Kita akan menjadi sobat-sobatNya dalam kehidupan sehari-hari dengan sesama orang kampong, sesama basodara, sesama jemaat. Karena itu, perbuatan rela berkorban sekalipun ada resikonya, akan menjadi bukti bagi orang lain bahwa kita adalah “sobat-sobat Yesus Kristus”. Seberapa besar resiko itu, sangat tergantung dari bagaimana kita melakukan setiap perbuatan kita dengan sadar dan sepenuh hati. Saya menemukan kenyataan, dimana seorang ibu rela mengalami pendarahan saat melahirkan, seorang bapa yang bekerja sebagai tukang bangunan dan seorang ibu yang bekerja mencuci pakaian untuk membiayai sekolah anaknya, seorang anak yang akhirnya bunuh diri demi menyatukan hubungan antara kedua orang tuanya. Memang berbeda-beda wujud pengorbanan sebagai pengikut Kristus, tapi maknanya tetap sama. Kiranya pengorbanan sebagai buah kebaikan yang dikehendaki Tuhan tidak saja dalam ucapan, tetapi nyata dalam perbuatan. ”Kakar pepes papas lalable yame ta, oe note kemle pe, lewka la muke allole”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar