Kamis, 14 Oktober 2010

Kematian Sang Penabuh Gendang

Setelah sekian lama ia terbaring diatas para-para, akhirnya Selasa 6 April 2004 om Otis Oraple menghembuskan nafasnya yang terakhir. Suasana dukacita pada hari itu kurang terasa. Biasanya suara tangisan tak terbendung, sampai-sampai pada saat ibadah pemakaman berlangsung, suara pemimpin ibadah hampir tidak kedengaran. Maklum, mega phone milik jemaat sering gangguan, sehingga tidak ada alat bantu pengeras suara yang lainya.

Seperti yang lain, sejak lama pembagian tugas untuk melayani orang yang meninggal dunia; Majelis Jemaat pendamping Unit Pelayanan memandikan mayat dan memimpin ibadah pemakaman, sedangkan Pemerintah Desa mengkoordinir pembutan peti dan penggalian lubang kubur. Dan warga jemaat/masyarakat lainnya ikut membantu apa saja yang bisa dilakukan. Pada saat berkumpul di rumah duka ataupun bekerja menggali lobang kubur, masih saja ada orang yang menggunakan kesempatan untuk minum “sopi”. Ya …. hitung-hitung minum sopi frei alias gratis, daripada beli. Begitulah keadaan hari itu hamper sama dengan hari lain, karena sekali lagi isak –tangis hamper tidak terdengar.

Mungkinkah om Otis tinggal sebatang kara ? Ia orang Ahanari, punya saudara – saudari, tapi tidak punya lagi istri dan anak. Menurut cerita, ia dulu tinggal di Ambon dan bekerja di perusahan pembuat “teng-teng”, makanan anak-anak. Suatu saat, ia kembali ke tanah kelahirannya, Ahanari, dengan membawa seorang perempuan yang berasal dari suku Jawa. Perempuan itu kemudian dibaptis dan dinikahkan secara Kristen. Gedung gereja Ebenhaezer menjadi saksi bisu bagi peristiwa yang penting dalam hidup om Otis. Namun, ternyata istri yang sangat dikasihinya itu pergi meninggalkannya, entah dimana rimbanya. Om Otis kecewa bahkan stress, ia menumpahkan minyak tanah pada matanya. Mulai saat itu, hingga kematiannya, om Otis tidak bisa melihat secara normal lagi. Sekalipun demikian ia punya kebun kasbi, tembakau dan jagung, seperti orang-orang sekampungnya. Dalam kondisi Penglihatanya demikian, tidak jarang kita melihat om otis pulang kebun dengan membawa pikulan saat sudah turun malam dibantu sebuah tongkat. Dan ……… tidak habis pikir, ada saja orang-orang yang mencuri hasil tanaman kebunnya.

Om Otis tidak pernah absen dalam setiap kegiatan di kampung dan di gereja (=jemaat); baik di unit, sektor serta wadah pelayanan lainnya). Mulai dari kerja bakti, pertemuan, pesta pernikahan, syukur ultha, syukur pulang kampung, apalagi ibadah-badah. Bukan hampir tidak pernah …., tetapi tidak pernah absen. Kalau ada kerja antua hanya duduk-duduk saja dan waktu makan tiba, antua juga sama-sama makan. Diundang ataukah tidak undang, om Otis selalu menjadi orang nomor satu yang hadir dalam setiap kegiatan diatas. Mungkin orang menyindir “ah, antua cuma cari makan saja mo!” . Maklum orang bujang. Sangat negatif ! Tapi ……… setelah hari selasa itu, tinggal empat hari lagi suara gendang yang berpadu dengan paduan suling di gereja pada ibadah minggu sudah tidak mungkin terdengar lagi. Om Otis adalah selalu pukul tifa dalam ibadah Minggu. Siapa yang Bersedia menggantikan “SANG PENABUH GENDANG”? Rasanya, Itu pekerjaan yang tidak berarti di bandingkan memiliki jabatan seperti; Pendeta, Penatua, atukah Diaken.

Wah ! terlalu banyak cerita tentang paitua. Kini ia telah tiada. Yang pasti, semasa hidupnya ia telah mengalami dan berbagai suka dan duka. Walaupun tidak bisa melihat secara normal, ia begitu hafal cerita film Darah dan Cinta dengan pemeran utamanya Arie Wibowo. Antua pernah bercerita kepada saya dengan sesekali tertawa kecil dan agak sedikit malu-malu. Saya memandangnya dalam-dalam. Rasanya, ia berusaha menyembunyikan kepedihan dan kesunyian hidup yang dijalaninya. Namun, sebenarnya ia ingin bercerita tentang kisah hidupnya. Saya tidak pernah tahu, kenapa om Otis hanya begitu hafal film itu, dibanding film lainnya yang diputar pada VCD di beberapa rumah. Mungkinkah film itu mengkisahkan sebuah perjuangan hidup yang sarat tantangan. Dan mengapa ia selalu saja menceritakannya kepada setiap orang yang mau mendengar ? Hanya om Otis saja yang tahu. Tetapi saya dapat merenungkan tentang sebuah makna dari ekspresinya pada saat bercerita. Sebenarnya ia ingin mengatakan bahwa “hidup adalah sebuah perjuangan”. Tidak mudah dan tidak ringan. Sekalipun demikian, setiap orang mesti menjalaninya. Hanya orang-orang yang mencintai kehidupan apa adanya yang sanggup menjalaninya. Ya … cinta. Semua membutuhkan cinta untuk membangun sebuah kehidupan.

Om Otis sudah siap dan sangat sangat pasrah di saat – saat terakhir. Bukan itu saja, saat ia terkujur kaku dan diam, malah memberikan suatu contoh yang baik kepada semua yang hadir pada saat ibadah pemakaman. Tidak ada suara tangisan, bahkan sesekali terikan yang membuat suasana ibadah terganggu. Ini baru pernah terjadi di Ahanari. Dalam suasana ketenangan itu semua yang hadir bisa mendengar pemberitaan firman Allah secara baik. Luar biasa ia telah mengakhiri prahara dalam hidupnya dengan sebuah ketenangan. Memang untuk semuanya, om Otis tidak pernah mengandalkan kekuatan fisik dan pengetahuan/kepintarannya. Ia telah membuktikan dan mengajak kita semua mengakui bahwa ia telah menjalani dan mengakhiri hidupnya karena iman. Ia telah membangun imannya sebagai dasar dari segala sesuatu yang ia harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak ia lihat (Ibrani 11:1).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar